Menelusuri Indonesia dalam Manuskrip Islam di Nusantara - Islami[dot]co
Salam, bertemu kembali dengan mimin dinisi, sesi kali ini akan membawakan tentang sejarah islam di nusantara Menelusuri Indonesia dalam Manuskrip Islam di Nusantara - Islami[dot]co mari simak selengkapnya ya...
Bangkitlah, hai bangsaku Inhadlu ahlal wathan
Indonesia negeriku Indonesia baladi
Engkau Panji Martabatku Anta ‘unwanul fakha ma
S’iapa datang mengancammu Kullu man ya’tika yauma
‘kan binasa di bawah dulimu” Thamiha yalqa’ hima ma
SIAPA yang hafal dan mengetahui fragmen rangkaian kata-kata bagus yang imbas-imbas sajak di atas? Dapat diduga, yang tahu hal itu hanyalah secuil kecil dari orang Islam Indonesia. Dari secuil itu boleh diperkirakan dengan pasti, bahwa mereka yang tahu itu hanyalah yang ikut pada badan kemasyarakatan bernama Nahdlatul Ulama (NU). Diakui atau tidak, meskipun kemunculan NU lebih akhir (1926) dibanding dengan Serikat Dagang Islam (1911), lalu Muhammadiyah (1912), Matlaul Anwar (1916), dst. melainkan NU memegang akar kuat di tengah masyarakat, sehingga lebih cepat berkembang di seluruh Indonesia, terutama di Jawa. Tulisan pendek ini, NU akan dijadikan sebagai “wakil” Islam pada kondisi kebangsaan dan kebudayaan Indonesia. Alasannya, baik secara teoritik maupun praktis, NU boleh dijadikan contoh tersebut, seperti ala bahasan berikut ini.
Kutipan yang imbas-imbas dengan sajak di atas, aslinya berbahasa Arab, dengan judul “Ya lal wathan” (Pusaka hati duhai tanah airku). Penciptanya KH. Wahab Hasbullah (1888-1971). Lagu tersebut dinyanyikan dengan tatanan (musik) acuan baru yang dikenalkan jumlah tahun terakhir, terutama dengan media sosial, baik FB, Twitter, Instagram, dst. Padahal lagu tersebut sudah sangat lama amat dibuat mbah Wahab. Dalam buku Pahlawan Santri: Tulang Punggung Pergerakan Nasional (2016: 43-49), mbah Wahab dicatat sebagai salah seorang tokoh garda dada pada pembentukan jala-jala pesantren pasca perang Jawa (1825-1830) yang dipimpin seorang santri juga, Pangeran Diponegoro (1785-1855).
Sosok Kiai Wahab dan lagunya di arah hanyalah salah eka contoh betapa kapasitas kiai (ulama) pada kondisi kebangsaan (nation-state) dan kebudayaan yang cemas tak dikenal dengan baik oleh publik, apalagi mendapat penghargaan dari masyarakat dengan sepantasnya.
Sebut saja, misalnya lagu “Ya lal wathan” itu apakah sudah dikenal pada keterampilan musik, budaya pertunjukkan, lagu-lagu populer, dst. Bukankah dengan menggubah lagu tersebut, mbah Wahab termasuk pada kreasi intelektual muslim yang menjadikan rasa kebangsaan akan tanah airnya begitu adiluhung sekali? Itulah bintang rohaniwan yang memegang biji keterampilan dan budaya untuk bangsanya melainkan kurang mendapat apresiasi. Terlebih lagi, hingga detik ini, budayawan yang santri, barangkali masih boleh dihitung jemari pada kondisi nasional.
Padahal, seperti disebutkan ala masa karet Sunan sekitar abad ke-14/15, keterampilan dan budaya di masyarakat Nusantara merupakan salah eka alat/strategi dakwah Islam. Sekalipun, sehabis kedatangan karet bakul dan penjajah Eropa sejak abad ke-17/18 dengan niat menduduki wilayah di Nusantara, bahwa seni/budaya berubah fungsinya jadi senjata untuk anti karet penjajah tersebut.
Dalam pengalaman bangsa Indonesia, penjajahan bukan sekadar pengambil alihan kekuasaan secara hukum dan peperangan awak dari karet raja atau sultan setiap daerah di Indonesia, melainkan jua penjajah itu telah mengambil aset kebudayaan biasa luhung bangsa ini. Salah eka dari kebudayaan yang diambil penjajah merupakan tulisan lengan buatan ulama-ulama di Indonesia, yang dikenal sebagai dokumen kuno. Dalam buku Fathurahman dan Chambert-Loir, Khazanah Naskah: Panduan Koleksi Naskah-Naskah Indonesia di Dunia (1999: 8) dengan bahasa yang santun disebutkan, naskah-naskah Indonesia kini tersebar di seluruh dunia. Banyak di antaranya tersimpan di Belanda dan Inggris oleh akibat anasir sejarah yang mudah dimengerti, melainkan dokumen terdapat pula di Jerman, Prancis, Rusia, dan di berbagai negeri lainnya. Sesuai catatan Behrend, dokumen Jawa yang tersimpan di berbagai perpustakaan Belanda diperkirakan jumlahnya sekitar 7.000 (Fathurahman, 1999: 98). Penekanan “sejarah yang mudah dimengerti” sengaja saya tebalkan untuk memasrahkan pemahaman asing tentang “penjarahan” dokumen kuno.
Terlepas dari aset kita yang (sebagian) sudah berpindah lengan di berbagai negara di dunia, sedia jumlah kajian filologis yang hebat untuk dicermati, bahwa ternyata sejak abad ke-18, ke-19, dan ke-20 karet rohaniwan konsisten anti penjajah dengan konsisten jua menulis dengan tangannya. Di antara karya-karya rohaniwan itu di Jawa dan Aceh. Naskah antik Nazam Tarekat, buatan KH. Ahmad Rifa’i Kalisalak (1786-1870). Dalam analisisnya, Adib (2016: 52-53) menyebutkan bahwa dengan nazam-nazam itulah muncul kidung perlawanan. Kiai Rifai menilai bahwa keinginan orang alim untuk diangkat oleh raja negara sebagai khalifah merupakan aliran kemaksiatan yang besar dan berpengaruh ala keadilannya.
Di antara nazam (puisi) bantahan itu merupakan ala detik prosedur pengangkatan penghulu oleh pemerintahan kolonial, sebagai berikut:
Galib alim amrih ing raja Negara mangkat
Dadi khalifah rasulullah dihujat
Iku rusak adile gedhe maksiat
Sebab nuli anut ing harome adat
(Galib alim menginginkan raja Negara mengangkat
Menjadi khalifah Rasulullah yang dihajat
Keadilannya itu rusak maksiatnya besar
Sebab kemudian mengikuti adat yang haram)
Pada abad ke-19, bantahan akan penjajah jua dilakukan di Aceh dengan khutbah dengan bahasa daerah mereka. Dalam pembeberan Syarif Hidayatullah (2013: 189) bahwa khutbah anjuran Jihad di Aceh itu tak pernah berhenti. Salah eka dari dokumen kunonya, sebagai berikut:
Bek tatakout bek tagundah kecil ureung Islam takaleen dan berjibun kezahiran tentara nyang kecil dengan tulong Allah taala: kam min fiatin qalilalatin ghalabat fi ‘atan katsiratan bi izni allah, yakni pedum2 daripada tentara nyang kecil jipeutalou akan tentara nyang berjibun dengan izin Allah ta’ala
(Tidak usah bimbang dan tak usah gundah dengan jumlah kecil orang Islam dan kuantitas jumlah tentara kafir secara lahiriah, akibat berjibun tentara yang kecil dengan sambung tangan Allah Swt. seperti pada firman Allah Swt. Begitu berjibun faksi kecil menaklukkan faksi yang berjibun dengan izin Allah).
Hal serupa terjadi ala abad ke-20, yaitu ala masa KH. Hasyim Asy’ari. Dalam buku Saefuddin Zuhri, Guruku Orang-Orang dari Pesantren (2001), disebutkan bahwa kebencian penjajah sebagaimana dinyatakan Belanda sebagai kolonial dan kaki tangannya ditanggapi oleh sikap kebencian pesantren kepada Belanda. Salah satunya pengharaman memanfaatkan dasi dan pantalon. Dalil yang digunakan antara asing Al-hukmu yaduru ma’a illah wujudan wa ‘adaman, artinya kepastian hukum sesuatu tergantung anasir penyebabnya, bila ternyata sedia sebab, bahwa tetaplah hokum, sebaliknya jika tak terjumpai sebab, bahwa tak jatuhlah hukum. Berbeda halnya, jika belajar bahasa Belanda untuk boleh mencurigai tipu akal busuk Belanda, seperti ala dalil, Man ‘arafa lughah qawmin amina min syarrihim, artinya siapa yang paham bahasa-bahasa asing akan terhindar dari tipu muslihat.
Dengan demikian, kapasitas rohaniwan di Nusantara, sejak adanya penjajahan itu tak pernah berakhir untuk anti dan memerdekakan negeri dan bangsanya bertimbal dengan kebudayaannya masing-masing. Tidak hanya di Jawa, melainkan jua di berbagai daerah, termasuk di Aceh dengan bahasa lokalnya. Para rohaniwan konsisten menghargai adanya kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri sejak abad ke-13/14, melainkan jua konsisten menghormati adanya Negara-bangsa (nation-state) sebagai pembaharuan arah negara Islam, namun begitu keadilan dan nilai-nilai keislaman harus dipertahankan. Tidak perlu kembali ala sistem khilafah atau negara Islam, yang terutama keadilan dan kenyamanan beserta kesejahteraan diperolah oleh Negara bangsa seperti Indonesia detik ini.
Apabila Negara atau pemerintah melakukan zalim dan tak bertimbal konstitusi, bahwa kewajiban rohaniwan untuk mengingatkannya, seperti terjadi ala masa lalu sebagaimana tercatat pada dokumen kuno. Contoh Kiai Rifai Kalisalak di atas, bukanlah contoh tunggal, akibat ala detik yang sama jua dialami oleh Ronggowarsito (lahir 1802) dan KH. Saleh Darat (1820-1903).
Semoga kita yang mempelajari perjuangan mereka itu boleh meneruskan dan melanjurkan amar ma’ruf tabu munkar bukan kepada karet penjajah awak saja, tapi jua mental dengan ide dan gerakan-gerakan yang merongrong persatuan dan kesatuan beserta mental generasi muda bertimbal dengan kondisi detik ini. Wallahu a’lam. []
Mahrus eL-Mawa, Dosen Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Teman Belajar Mahasiswa Program Magister STAINU Jakarta, dan Alumni Pesantren as-Salafiyah Kauman Pemalang Jateng dan PP al-Munawir Krapyak Jogja)
Oke itulah pembahasan mengenai Menelusuri Indonesia dalam Manuskrip Islam di Nusantara - Islami[dot]co semoga artikel ini berfaedah untuk kita semua. Bila ada kata yang khilaf, mohon di koreksi lewat komentar dibawah ini. salam
Sumber Tulisan ini : https://islami.co/menelusuri-indonesia-dalam-manuskrip-islam-di-nusantara/
Posting Komentar untuk "Menelusuri Indonesia dalam Manuskrip Islam di Nusantara - Islami[dot]co"
Posting Komentar