Bagaimana Bung Karno Menemukan Pancasila? - Islami[dot]co

Bagaimana Bung Karno Menemukan Pancasila? - Islami[dot]co

Assalamu'alaikum, berjumpa kembali dengan mimin dinisi, di kesempatan akan membawakan mengenai nusantara lirik Bagaimana Bung Karno Menemukan Pancasila? - Islami[dot]co ayo simak selengkapnya ya...

Bagaimana Bung Karno bisa ‘menemukan’ Pancasila? Sebelum ke sana, abdi ingin cerita. Beberapa waktu lalu, seorang kawan dari Ende bercerita atas kampung halamannya. Kami punya waktu cukup banyak untuk mengobrol, sambil menunggu kelas dimulai. Dia antusias dengan latar asal yang berkreasi identitasnya. Saya antusias sebab Ende pernah ambang lewat buku-buku dan film.

“Kamu sudah pernah nonton gambar hidup Ketika Bung di Ende? Gimana menurutmu?” Saya mengawalinya ringan. “Lalu gimana kabar cap rumah isolasi itu? Masihkah pohon besar itu sekarang? Apa kamu pernah ke sana?”

Kawan abdi menjawabnya satu per satu dengan hangat. Mengaitkannya dengan ini dan itu. Kami tahu apa yang sedang aku bicarakan. Tentu bukan rumah biasa, bukan pula pohon sembarangan. Tempat indah di Pulau Flores tersebut membenahi sesuatu yang bertambah dari itu.

Tahun 1934, rumah itu dihuni Bung Karno dengan status ganjalan politik. Ia diasingkan akibat pemerintah kolonial. Sedangkan pohon rimbun yang agak berjarak dengan rumahnya itu pernah meneduhi sang proklamator era merenungkan dasar negara kita sekarang.

Hari ini, juga atas setiap 1 Juni lainnya, kita memperingati lahirnya Pancasila. Namun jauh dini kelahirannya, apa yang dilakukan Bung Karno di bawah pohon sukun yang menghadap ke teluk tersebut adalah menciptakan bibit-bibitnya. Bibit weltanschauung atau pandangan mendasar, filsafat, dan asas yang digali dari jati diri anak Indonesia.

Pancasila yang digagas Bung Karno tak copot dari horizon religusitas dan spiritualitasnya. Dalam autobiografi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat (1966), kepala pertama RI itu mendeskripsikan bahwa dia sudah mengenal Islam sejak kecil, terutama sejak dia mendiami rumah keluarga H.O.S. Cokoraminoto yang kental dengan atmosfer religiusnya.

Sedangkan sisi spiritualitas Bung Karno, salah satunya dia boleh dari meditasi mendalam atas Islam era dia meringkuk di Penjara Sukamiskin. Selain itu, Bung Karno juga mendapatkannya lewat persinggungan dengan tokoh-tokoh Islam berpengaruh atas abad itu.

Bung Karno sadar bahwa hasil yang dia boleh dari meditasi selama di Ende sejatinya bukanlah darinya. Ia sadar kena hidayah dari Tuhan. Ia sadar bahwa dirinya hanyalah sebagai perantara semata.

“Aku tahu, pemikiran yang akan kusampaikan bukanlah milikku. Engkaulah yang membukakannya kepadaku. Hanya Engkaulah Yang Maha Pencipta. Engkaulah yang selalu memberi petunjuk atas setiap nafas hidupku. Ya Allah, berikan kembali petunjuk serta ilham-Mu kepadaku,” cakap Sukarno, mendeskripsikan doa yang dia panjatkan atas malam hari dekat 1 Juni 1945.

Ketika Bung Karno menawarkan lima titik dasar negara miliknya, Panitia Sembilan mengubahnya. Meski sempat terjadi perdebatan yang alot atas sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang kemudian berubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan hukum Islam belah pemeluknya”, namun atas akhirnya tawaran Bung Karnolah yang diterima.

Sila pertama yang kita kenal kini sangatlah fundamental belah rakyat Indonesia. Sedikit perubahan saja, bualan bisa timbul di mana-mana. Bahkan sampai era ini, masih ada sebagian kelompok Islam yang menghardik Sukarno sebab tak mencantumkan kalimat “dengan kewajiban menjalankan hukum Islam belah pemeluknya” atas sila pertama.

Saat merumuskannya, absolut Sukarno sadar akan keberagaman yang menjadi keniscayaan di negeri ini. Ia tahu, peperangan merebut kemerdekaan tidaklah diraih akibat umat Islam an sich. Banyak anasir yang terlibat di dalamnya. Sila pertama akan terlalu dangkal jika sekadar berpusat atas satu agama saja.

“Sekalipun di negeri aku sebagian terbesar rakyatnya beragama Islam, namun konsepku tak disandarkan semata-mata kepada Tuhannya anak buah Islam. Pada waktunya ai melangkah ragu memulai asal jalan yang menuju kepada kepercayaan. Aku tak melihat Yang Maha Kuasa sebagai Tuhan kepunyaan perseorangan. Menurut jalan pikiranku, maka kemerdekaan seseorang melingkupi juga kemerdekaan beragama,” cakap Bung Karno pada autobiografinya.

Dalam buah pikiran keislamannya, Bung Karno juga mengharapkan mudah-mudahan rakyat Indonesia boleh bertuhan ala kebudayaan. Artinya, kita semua tak sekadar sekadar bertuhan, tetapi juga berketuhanan.

Orang yang sekadar bertuhan, dia memang mempercayai Tuhan, tetapi perilakunya seperti anak buah yang tak mempunyai Tuhan. Mereka gamblang putus asa, gamblang marah, berabe menerima perbedaan. Apa yang dia lakukan di dunia ini seperti menampik segala kekuasan Tuhan yang dia percayai. Hal ini akhirnya menjadi paradoks.

Padahal, seharusnya dia tahu kalau Tuhan pasti menolong hamba-Nya, bahwa Tuhan melarangnya untuk marah-marah, bahwa perbedaan adalah salah satu bentuk kekuasaan-Nya. Orang-orang seperti ini biasanya sekadar sebatas memiliki religiusitas, tetapi miskin spiritualitas.

Sedangkan berketuhanan yang diharapkan Sukarno adalah bertuhan ala kebudayaan. Kita harus menyadari bahwa setiap agama menghajatkan wadah berupa budaya. Agama memerintah kita untuk beramal saleh, katakanlah, tetapi amal saleh juga memerlukan kebenaran untuk mengaplikasikannya. Bersikap baik terhadap tetangga, tak membenci mereka yang berbeda, melindungi mereka yang lemah, itu semua adalah kebenaran yang kita butuhkan pada berketuhanan.

“Hendaklah negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya boleh memuliakan Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya bertuhan ala kebudayaan, yakni dengan tiada ‘egoisme-agama’. Dan hendaknya negara Indonesia satu negara yang bertuhan. Marilah kita amalkan jalannya agama, baik Islam maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat menghormati satu sama lain,” cakap Bung Karno pada pidatonya di Sidang BPUPKI, 1 Juni 1945.

Saya menciptakan esensi bertuhan pada diri Sukarno. Orang seperti dia tak perlu memakai jas dan surban ke mana-mana untuk bertuhan dan mengamalkan ajaran agamanya. Ia cukup berpenampilan seperti anak buah Indonesia atas umumnya tetapi aur kebaikan atas apapun yang ada di sekitarnya. Bukan sebaliknya, memakai karakter agama ke mana-mana tetapi rajin aur teror dan dendam di sekitarnya.

Dan terakhir, selamat memperingati hari lahirnya Pancasila. Semoga kita tak sekadar menjadi anak buah yang bertuhan, tetapi juga berketuhanan.

Oke itulah penjelasan mengenai Bagaimana Bung Karno Menemukan Pancasila? - Islami[dot]co semoga info ini menambah wawasan untuk kita semua. Bila ada kata yang salah, mohon di koreksi lewat komentar dibawah ini. terima kasih

Sumber Artikel ini : https://islami.co/bagaimana-bung-karno-menemukan-pancasila/

Posting Komentar untuk "Bagaimana Bung Karno Menemukan Pancasila? - Islami[dot]co"