Siapa yang Khawarij, As Sisi alias Mursi?
Salam.., al-hamdulillah kita bisa bertemu kembali disini, semoga kita selamanya diberi kesehatan Oleh Allah swt. Sesi kali ini akan menjelaskan tema terkait "sejarah dunia yang disembunyikan, Siapa yang Khawarij, As Sisi atau Mursi?". ayo pelajari selengkapnya...
Saya heran, betapa dengan cara apa seorang yang mempunyai bidang agama yang tinggi seperti Ali Jumuah (mantan mufti Mesir) mendakwa Mursi dan para pendukungnya sebagai Khawarij. Padahal setahu saya, Khawarij itu bertambah tepat diarahkan kepada mereka yang mengkudeta Mursi. Karena mereka ialah telah berbalik muka terhadap pemerintahan yang sah; yang terpilih secara demokratis dan jurdil. Dalam awal sejarah Khawarij, mereka dulunya ialah pendukung Khalifah Ali bin Abi Thalib Ra.. Karena suatu hal yang menurut mereka Ali sudah jauh menyimpang dari tuntunan Ilahi, akhirnya mereka keluar dari jamaah khalifah yang sah. Kata "mereka keluar" inilah yang dikenal dengan istilah khawarij. Di sini saya akan mengutip satu kisah debat antara Ibnu Abbas Ra. yang datang menemui bangsa Khawarij. Ketika bangsa Haruriyyah (Khawarij) memberontak, mereka berkumpul menyendiri di suatu daerah. Ketika itu mereka ada sekitar 6000 orang. Maka Ibnu Abbas pun berbicara kepada ‘Ali bin Abi Thalib Ra.: “Wahai Amirul Mu’minin, tundalah shalat zhuhur batas baskara tidak terlalu panas, mungkin aku bisa berbicara dengan mereka bangsa Khawarij.” Ali Ra. berkata: “Aku mengkhawatirkan keselamatanmu.” Ibnu Abbas Ra. berkata: “Tidak perlu khawatir.” Ibnu Abbas Ra. berkata, “Aku benar-benar berada di tengah suatu bangsa yang belum pernah kujumpai orang yang sangat bersemangat berdoa seperti mereka. Dahi-dahi mereka penuh luka bekas sujud, tangan-tangan menebal bak lutut-lutut unta (kapalan). Wajah-wajah mereka pucat pasi akibat tidak tidur, melenyapkan malam buat beribadah.” Kuucapkan salam pada mereka. Serempak mereka menyambutku, “Selamat datang, aduhai Ibnu Abbas Ra. barang apa gerangan yang membawamu kemari?” Ibnu Abbas Ra. berkata: “Aku datang menggantikan para sahabat Nabi dari bangsa Muhajirin dan Anshar dan menggantikan anak dari paman Nabi (Ali bin Abi Thalib). Merekalah yang membersamai Nabi, Al Qur’an di turunkan di tengah-tengah mereka, dan mereka lah yang amat memahami makna Al Qur’an. Dan tidak ada salah seorang pun dari kalian yang termasuk sahabat Nabi. Akan aku sampaikan bicara mereka yang bertambah benar dari bicara kalian.” Sebagian dari bangsa Khawarij mencoba menahan Ibnu Abbas Ra. buat bicara, "Jangan berdebat dengan orang Quraisy, akibat Allah telah berfirman, 'Sesungguhnya mereka ialah bangsa yang suka berdebat'." Namun, dua atau tiga orang dari mereka menukas, "Kita harus bicara dengannya." Ibnu Abbas berbicara lagi: “Sampaikan kepada saya barang apa alasan kalian memerangi para sahabat Rasulullah dan anak dari pamannya (Ali bin Abi Thalib)?” Mereka menjawab: “Ada 3 hal.” Ibnu Abbas berkata: “Apa saja?” Mereka menjawab: “Pertama: beliau telah menjadi hakim pada urusan Allah, sedangkan Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya hukum itu hanyalah milik Allah.” (QS. Al An’am: 57, Yusuf: 40). Betapa beraninya seseorang menetapkan hukum!” Ibnu Abbas berkata: “Ini yang pertama, lalu?” Mereka menjawab: “Kedua: beliau memimpin perang (melawan pihak ‘Aisyah) namun tidak menawan tawanan dan tidak mengambil ghanimah. Padahal jika memang beliau memerangi orang ateis alkisah halal tawanannya. Namun jika yang diperangi ialah orang mukmin alkisah tidak halal tawanannya dan tidak boleh diperangi.” Ibnu Abbas berkata: “Ini yang kedua, lalu barang apa yang ketiga?” (Ketiga) Mereka menyampaikan bicara yang intinya bangsa Khawarij berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib telah menghapus gelar Amirul Mu’minin dari dirinya, dengan begini beliau ialah Amirul Kafirin. Ibnu Abbas lalu berkata: “Apakah masih ada berulang alasan kalian?” Mereka menjawab: “Itu sudah cukup.” Ibnu Abbas berkata: “Bagaimana menurut kalian jika aku membacakan kitabullah dan sunnah Nabi-Nya yang akan membantah pendapat kalian? Apakah kalian akan rujuk (taubat)?” Mereka berkata: “Ya.” Ibnu Abbas Ra. berkata, “Ketahuilah, aktual Allah Swt. telah menyerahkan sebagian hukum-Nya kepada keputusan manusia, seperti pada menentukan harga kelinci (sebagai tebusan atas kelinci yang dibunuh saat ihram) Allah Swt. berfirman,“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melenyapkan binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, alkisah dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan (hukum) dua orang yang adil di antara kamu, sebagai hadyu yang dibawa sampai ke Ka’bah, atau (dendanya) membayar kafarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan barang apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa berulang mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.” (QS. Al-Maidah: 95) Demikian pula pada perkara awewe dan suaminya yang bersengketa, Allah Swt. juga menyerahkan hukumnya kepada hukum (keputusan) manusia buat mendamaikan antara keduanya. Allah Ta’ala berfirman,“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, alkisah kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui berulang Maha mengenal.” (QS. An-Nisa: 35) Demi Allah, jawablah, apakah diutusnya seorang manusia buat mendamaikan hubungan mereka dan mengambang pertumpahan darah di antara mereka bertambah pantas buat dilakukan, atau hukum manusia perihal darah seekor kelinci dan urusan pernikahan wanita? Menurut kalian manakah yang bertambah utama?” Mereka katakan, “Inilah (yakni mengutus manusia buat mendamaikan manusia dari pertumpahan darah) yang bertambah utama.” Ibnu Abbas Ra. berkata, “Apakah kalian telah memahami masalah pertama?” Mereka berkata, “Ya.” Ibnu Abbas melanjutkan, “Adapun lafal kalian bahwa Ali Ra. telah berperang tapi tidak mau mengambil ghanimah dari yang diperangi dan tidak menjadikan mereka sebagai tawanan, sungguh (dalam alasan kedua ini) kalian telah mencerca ibu kalian (yakni Aisyah). Demi Allah! Kalau kalian katakan bahwa Aisyah bukan ibu kita, kalian telah keluar dari Islam (karena mengingkari firman Allah Swt.). Demikian pula andaikan kalian menjadikan Aisyah sebagai tawanan perang dan menganggapnya halal begitu juga tawanan lainnya (sebagaimana layaknya orang-orang kafir), alkisah kalian pun keluar dari Islam. Sesungguhnya kalian berada di antara dua kesesatan, akibat Allah Swt. berfirman,“Nabi itu bertambah utama alokasi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya ialah ibu-ibu mereka.” (QS. Al-Ahzab: 6) Ibnu Abbas Ra. berkata, “Apakah kalian telah memahami masalah ini?” Mereka menjawab, “Ya.” Ibnu Abbas Ra. berbicara lagi, “Adapun lafal kalian bahwasanya Ali telah menghapus buah bibir Amirul Mukminin dari dirinya, alkisah (sebagai jawabannya) aku akan kisahkan kepada kalian tentang seorang yang kalian ridhai, yaitu Rasulullah Saw. Ketahuilah, bahwasanya beliau di hari Hudaibiyah (6 H) melaksanakan shulh (perjanjian damai) dengan orang-orang musyrikin, Abu Sufyan dan Suhail bin Amr. Tahukah kalian barang apa yang terjadi? Ketika itu Rasulullah Saw. bersabda kepada Ali, “Wahai Ali, tulislah perjanjian buat mereka.” Ali menulis, “Inilah perjanjian antara Muhammad Rasulullah…” Orang-orang musyrik berkata, “Demi Allah! Kami tidak tahu andaikan engkau rasul Allah. Kalau kami melegalkan engkau sebagai utusan Allah tentu kami tidak akan memerangimu.” Rasulullah Saw. bersabda, “Ya Allah , sungguh engkau mengetahui bahwa aku ialah Rasulullah. Wahai Ali, tulislah ‘Ini ialah perjanjian antara Muhammad bin Abdillah…’.” (Rasulullah memerintahkan Ali buat menghapus buah bibir Rasulullah pada perjanjian, pen.) Ibnu Abbas Ra. berkata, “Demi Allah, sungguh Rasulullah Saw. bertambah mulia dari Ali, meskipun begini beliau menghapuskan buah bibir Rasulullah pada perjanjian Hudaibiyah… Apakah dengan perintah Rasul menghapuskan kata Rasulullah pada perjanjian kemudian kalian mengingkari kerasulan beliau? Sebagaimana kalian ingkari keislaman Ali akibat menghapus buah bibir Amirul Mukminin?" Ibnu Abbas Ra. berkata, “Maka kembalilah dua ribu orang dari mereka, sementara lainnya tetap berbalik muka (dan berada di atas kesesatan), batas mereka diperangi pada sebuah peperangan besar (yakni perang Nahrawan).” Demikian tiga kerancuan pola pikir Khawarij yang mereka jadikan sebagai alasan berbalik muka dan memerangi Ali Ra.. Semua kerancuan tersebut terbantah pada dialog mereka dengan Ibnu Abbas Ra.. Maka selamatlah mereka yang mau mendengar sahabat dan menjadikan mereka sebagai penunjuk pada memahami Alquran dan sunnah. Kemudian pada al-Bidayah wa an-Nihayah karya Imam Ibnu Katsir disebutkan: Ibnu Abbas membawa mereka ke hadapan Ali bin Abi Thalib di Kufah. Setelah itu, Ali mengirim utusan kepada orang-orang Khawarij yang tersisa, beliau berkata, “Sesungguhnya kalian telah menyaksikan barang apa yang telah dialami olehku dan orang-orang secara umum. Berbuatlah semau kalian batas umat Muhammad Saw. bersatu. Di antara kita ada sebuah perjanjian, tidak boleh menumpahkan darah yang haram dibunuh, tidak boleh menyabotase jalan dan tidak boleh menzalimi ahli zhimmah. Jika kalian melanggarnya, alkisah kami akan membalasnya dengan pembalasan yang setimpal. Allah berfirman, 'Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat'." (QS. Al-Anfal: 58) Tidak lama setelah itu, mereka menyabotase jalan, melenyapkan orang-orang yang tak bersalah, menghalalkan darah ahli zhimmah batas mereka dikalahkan pada Perang Nahrawan. Setelah itu mereka membalas dendam dan yang mengakibatkan tewasnya Khalifah ar-Rasyid Ali bin Abi Thalib Ra. Dari kisah di atas, saya memperoleh beberapa kesimpulan: Pertama, dari segi amalan ibadah, bangsa Khawarij ialah ahlinya. Seorang Ibnu Abbas yang dijuluki oleh Nabi Saw. sebagai mufassir Al-Qur'an pun kagum kepada mereka, sampai-sampai beliau mengatakan, "Aku benar-benar berada di tengah suatu bangsa yang belum pernah kujumpai orang yang sangat bersemangat berdoa seperti mereka." Kedua, aib bangsa Khawarij ialah pemahaman agamanya yang dangkal. Ketika mereka berdebat dengan Ibnu Abbas tampaklah kedangkalan itu, sehingga dengan mudah Ibnu Abbas meluruskannya. Padahal beramal dengan bidang bertambah afdhal ketimbang beramal tanpa ilmu. Yang kedua bertambah banyak merusak ketimbang memperbaiki. Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah berkata, “Barangsiapa melaksanakan suatu jasa tanpa landasan bidang alkisah apa-apa yang dia rusak itu justru bertambah banyak daripada apa-apa yang dia perbaiki.” Ketiga, bangsa Khawarij ialah para pemberontak, perusak, dan pengkhianat. Mereka melenyapkan orang yang tidak mau sepaham dengan mereka. Mereka mengkhianati para pemimpin yang sah, sedangkan mereka sebelumnya berada pada alam pemimpin tersebut. Dari sini, apakah pantas seorang yang berilmu seperti Ali Jumuah mendakwa Mursi dan para pendukungnya sebagai Khawarij? Sungguh tuduhan yang sangat keji dan fitnah yang besar. Butakah matanya dari memandang betapa dengan cara apa pengkhianatan yang dilakukan Abdul Fattah As-Sisi (Menhan-nya Mursi) terhadap Presidennya sendiri (Muhammad Mursi)? Tidakkah dia memandang betapa dengan cara apa masjid-masjid di bakar, Al-Qur'an dibakar, rumah sakit yang menampung korban pembantaian As Sisi juga turut dibakar? Tidakkah juga dia memandang betapa dengan cara apa pembunuhan sadis yang dilakukan anak buah As-Sisi terhadap pendukung Mursi di Rabiah dan lapangan Nahdhah? Mereka melenyapkan pendukung pemerintahan yang sah akibat para pendukung itu tidak sepaham dan tidak sejalan dengan keinginan mereka. Jadi siapa yang khawarij, As-Sisi atau Mursi?
Demikian pembahasan tentang "Siapa yang Khawarij, As Sisi atau Mursi?". semoga artikel ini berfaedah bagi Kita semua. terima kasih
Sumber artikel http://abu-farras.blogspot.com/2014/01/siapa-yang-khawarij-as-sisi-atau-mursi.html
Posting Komentar untuk "Siapa yang Khawarij, As Sisi alias Mursi?"
Posting Komentar