Makna Merdeka Menurut Rabi’ bin Amir
Hi, bertemu kembali disini, mudah-mudahan kita semua selalu diberi kesehatan dan keberkahan hidup, baik lahir maupun batin. Baiklah, pada artikel ini akan membawakan kategori tentang hikmah sakit Merdeka Menurut Rabi’ bin Amir, Mari kita simak isi selengkapnya...!
Merdeka berarti membebaskan umat manusia dari penyembahan kepada hamba menjadi penyembahan kepada Tuhannya para hamba.
Menjelang meletusnya pertempuran Qadisiyah (636 M), panglima perang kekhalifahan Islam, Saad bin Abi Waqash, yang diangkat oleh Amirul Mukminin Umar bin Khaththab, mengirim sejumlah utusannya untuk menemui raja Kisra. Misinya untuk menyampaikan tiga pesan: masuk Islam, tunduk dan patuh kepada Daulah Islam dengan membayar jizyah, atau diperangi.
Utusan pertama adalah An-Nu’man bin Muqarrin yang ditugaskan untuk menemui raja Kisra bernama Yazdagir. Lalu Al-Mughirah bin Syu’bah dikirim untuk menemui Rustum, panglima pasukan Persia. Ketiga, diutus Rabi’ bin Amir untuk memenhi undangan Rustum.
Rabi’ bin ‘Amir Ats-Tsaqofi ra adalah seorang sahabat Nabi Saw yang mulia dan pemberani. Ia diutus menjumpai Rustum setelah sebelumnya Rustum meminta kepada kaum muslimin untuk mengirimkan dutanya agar mengetahui apa maksud kedatangan muslimin ke negeri itu.
Rabi’ datang dengan mengendarai kuda pendek berambut panjang. Ia membawa pedang yang disarungkan pada lipatan bajunya yang sudah usang, tombak, perisai dan busur.
Rabi’ segera masuk menemuinya sementara Rustum dan pasukannya telah menghiasi ruangan pertemuan itu dengan bantal-bantal yang dirajut dengan benang emas, serta permadani-permadani yang terbuat dari sutera.
Mereka hendak mempertontonkan kepada Rabi ‘berbagai macam perhiasan berupa permata yaqut, permata-permata yang mahal dan perhiasan-perhiasan yang menyilaukan mata. Rustum sendiri memakai mahkota dan duduk di atas singgasananya yang terbuat dari emas. Sebaliknya, Rabi’ datang dengan segala kesederhanaanya tapi dengan penuh kegagahan, keberanian dan kemuliaan. Ia tiba dengan jiwa yang agung dan pribadi yang luhur. Ia menampakkan kemuliaannya sebagai seorang muslim.
Ketika Rabi’ telah sampai di dekat permadani, pasukan Rustum menyruhnya untuk turun dari kudanya. Tapi ia tidak menghentikan kudanya hingga setelah berada di atas permadani, barulah ia turun dari kudanya. Lalu mengikatkannya pada dua bantal yang ia sobekkan terlebih dahulu, kemudian ia masukkan tali kudanya ke lubang dua bantal yang sudah terkoyak itu. Tentara-tentara Rustum pun marah, tapi tak kuasa mencegahnya.
Selanjutnya mereka meminta Rabi’ untuk meletakkan senatanya. Rabi’ menjawabnya dengan tenang, “Aku tidak pernah berniat mendatangi kalian, tetapi kalianlah yang mengundangku datang kemari, jika kalian memerlukanku maka biarkan aku masuk dalam keadaan seperti ini. Dan jika tidak kalian izinkan, aku akan segera kembali.”
Menjelang meletusnya pertempuran Qadisiyah (636 M), panglima perang kekhalifahan Islam, Saad bin Abi Waqash, yang diangkat oleh Amirul Mukminin Umar bin Khaththab, mengirim sejumlah utusannya untuk menemui raja Kisra. Misinya untuk menyampaikan tiga pesan: masuk Islam, tunduk dan patuh kepada Daulah Islam dengan membayar jizyah, atau diperangi.
Utusan pertama adalah An-Nu’man bin Muqarrin yang ditugaskan untuk menemui raja Kisra bernama Yazdagir. Lalu Al-Mughirah bin Syu’bah dikirim untuk menemui Rustum, panglima pasukan Persia. Ketiga, diutus Rabi’ bin Amir untuk memenhi undangan Rustum.
Rabi’ bin ‘Amir Ats-Tsaqofi ra adalah seorang sahabat Nabi Saw yang mulia dan pemberani. Ia diutus menjumpai Rustum setelah sebelumnya Rustum meminta kepada kaum muslimin untuk mengirimkan dutanya agar mengetahui apa maksud kedatangan muslimin ke negeri itu.
Rabi’ datang dengan mengendarai kuda pendek berambut panjang. Ia membawa pedang yang disarungkan pada lipatan bajunya yang sudah usang, tombak, perisai dan busur.
Rabi’ segera masuk menemuinya sementara Rustum dan pasukannya telah menghiasi ruangan pertemuan itu dengan bantal-bantal yang dirajut dengan benang emas, serta permadani-permadani yang terbuat dari sutera.
Mereka hendak mempertontonkan kepada Rabi ‘berbagai macam perhiasan berupa permata yaqut, permata-permata yang mahal dan perhiasan-perhiasan yang menyilaukan mata. Rustum sendiri memakai mahkota dan duduk di atas singgasananya yang terbuat dari emas. Sebaliknya, Rabi’ datang dengan segala kesederhanaanya tapi dengan penuh kegagahan, keberanian dan kemuliaan. Ia tiba dengan jiwa yang agung dan pribadi yang luhur. Ia menampakkan kemuliaannya sebagai seorang muslim.
Ketika Rabi’ telah sampai di dekat permadani, pasukan Rustum menyruhnya untuk turun dari kudanya. Tapi ia tidak menghentikan kudanya hingga setelah berada di atas permadani, barulah ia turun dari kudanya. Lalu mengikatkannya pada dua bantal yang ia sobekkan terlebih dahulu, kemudian ia masukkan tali kudanya ke lubang dua bantal yang sudah terkoyak itu. Tentara-tentara Rustum pun marah, tapi tak kuasa mencegahnya.
Selanjutnya mereka meminta Rabi’ untuk meletakkan senatanya. Rabi’ menjawabnya dengan tenang, “Aku tidak pernah berniat mendatangi kalian, tetapi kalianlah yang mengundangku datang kemari, jika kalian memerlukanku maka biarkan aku masuk dalam keadaan seperti ini. Dan jika tidak kalian izinkan, aku akan segera kembali.”
Sekian penjelasan tentang Merdeka Menurut Rabi’ bin Amir semoga tulisan ini menambah wawasan bagi kita semua. Terimakasih atas kunjungannya dan wassalamu'alaikum.
Postingan ini telah ditayangkan di : https://suaraislam.id/merdeka-menurut-rabi-bin-amir/
Posting Komentar untuk "Makna Merdeka Menurut Rabi’ bin Amir"
Posting Komentar