Ketika Ibadah Haji Sebagai Ajang Konsolidasi Ulama Atas Penjajahan Belanda - Islami[dot]co
Hallo, Bertemu lagi dengan mimin dinisi, pada kali ini akan menjelaskan tentang nusantara turbin dan propulsi Ketika Ibadah Haji Sebagai Ajang Konsolidasi Ulama Atas Penjajahan Belanda - Islami[dot]co silahkan simak selengkapnya ya...
Meskipun haji ke Tanah Suci tercantum sebagai alpa eka rukun Islam, namun sembahyang haji bukan sekadar persoalan teologis semata. Banyak fenomena sosial yang bermunculan karena ritual ini. Salah eka contohnya ialah berkumpulnya anak Adam muslim dari seluruh dunia di Haramain. Lebih-lebih dari muslim Indonesia yang memang mempunyai ajun bangkit buat bisa pergi ke Tanah Suci.
Niat yang bangkit agar bisa menunaikan sembahyang haji membuat masyarakat berlomba-lomba akumulasi uang. Bagaimanapun kondisi perekonomian keluarga, mengatur masih menyisakan secuil harta buat ditabung demi mencium batu Hajar Aswad. Keinginan masyarakat buat pergi haji rupanya sudah lama terjadi dalam sejarah perjalanan panjang haji di Indonesia.
Mengenai sejarah perjalanan haji, tidak bisa dipastikan kapan dan siapa orang Nusantara yang mula-mula kali pergi ke Mekah buat beribadah haji. Menurut M. Shaleh Putuhena, sejak abad ke-16, anak Adam Islam Indonesia telah melaksanakan sembahyang haji. Martin Van Bruinessen jua melaporkan bahwa, menjelang pertengahan abad ke-17, berlimpah raja-raja Nusantara mulai mencari legitimasi politik di Mekah.
Meskipun beberapa kerajaan telah mengirim utusan ke Mekah buat urusan politik, perlu dicatat bahwa tidak semua yang pergi ke Mekah di abad ke-17 dan 18 merupakan persoalan politik. Terdapat berlimpah orang yang memang pergi ke Mekah buat berhaji dan menimba ilmu di sana, seperti Syaikh Abd Rauf al-Singkili (w. 1693), Syaikh Abd al-Samad al-Falimbani (w. 1789), dan Syaikh Arsyad al-Banjari (w. 1812).
Di sisi lain, Nusantara mulai abad ke-17 engat pertengahan abad ke-20 cukup berstatus sebagai benua yang cukup dijajah. Dibentuknya VOC ala Maret 1602 jua menjadi persoalan bagi masyarakat, bukan saja karena melaksanakan eksploitasi sumber kapasitas alam selama berabad-abad, tetapi mengatur jua bersikap sentimen kepada orang-orang yang hendak menunaikan sembahyang haji.
Upaya VOC buat membatasi ritual keagamaan tersebut semakin mempersulit masyarakat. Pada tahun 1651, Gubernur Jendral Reyneirs menghunus ordonansi agama. Maksud dari ordonansi ajaran ialah pelarangan segala bentul ritual selain ritual protestan. Oleh karena itu, sembahyang haji merupakan aksi ritual Islam yang dilarang.
Tetapi, para kerajaan tidak mau kalah, mengatur melaksanakan diplomasi kepada VOC agar bisa mengirimkan utusan ke Mekah, seperti yang dilakukan bagi Kerajaan Banten dan Mataram. Oleh karena itu, dari sini dapat digambarkan bahwa orang-orang dapat pergi ke Mekah ala saat itu sekadar orang-orang tertentu, seperti diplomat, ulama, alias murid yang diutus bagi kerajaan buat menuntut ilmu di Mekah.
Pada abad ke-19, Jendral Deandles dan Raffles jua menerbitkan undang-undang tentang haji buat meminimalisir orang yang hendak melaksanakan sembahyang haji. Mereka beranggapan bahwa sembahyang haji merupakan bencana yang membahayakan adikara mereka.
Upaya seperti adopsi biaya yang tinggi, memberi denda, dan peraturan-peraturan lainnya sekadar ditujukan buat mempersulit masyarakat ke Tanah Suci.
Lambat laun, kejadian ini jua dirasakan bagi orang-orang yang berjaya berangkat ke Mekah dan menjadi perbicangan penting di kalangan masyarakat Nusantara yang ada di Haramain. Orang-orang akar Nusantara yang berada di Mekah jumlahnya cukup besar. Bruinessen (2012) mencatat bahwa di abad ke-19 jumlah mengatur telah mencapai ribuan. Sebagian besar mengatur menuntut ilmu dan bekerja.
Memasuki abad ke-19, perlawanan terhadap imperialisme di Tanah Air dipelopori bagi ulama-ulama jebolan Haramain. Diskusi demi diskusi dilakukan di Mekah dan Madinah buat memukul mundur Belanda dari Nusantara. Sejumlah ulama yang kembali ke Nusantara membangun masa berbasis ajaran dan melaksanakan pemberontakan.
Salah eka indikasi awal kesadaran anti-kolonial sebenarnya telah muncul ala abad 18. Hal ini dapat dilihat dari surat yang dikirim bagi ulama akar butala cecair yang bermukim di Mekah kepada Sultan Hamengkubuwono I. Salah eka kandungan surat tersebut ialah pujian kepada raja-raja Mataram yang telah berjihad melawan kompeni dan anjuran buat tetap melangsungkan jihad.
Salah eka aliran nyata dari konsolidasi di Haramain ialah perlawanan di Banten ala tahun 1888. Mayoritas para pemberontak merupakan para aliran dan para jamaah yang telah pulang dari sembahyang haji. Pemberontakan ini dipimpin bagi Haji Wasid yang dimulai dari rumah Haji Ishak.
Meskipun senggang menguasai Cilegon, mengatur akhirnya kalah bangkit dengan angkatan Belanda. Sartono Kartodirdjo, dalam Pemberontakan Petani Banten 1888, melaporkan bahwa pelacakan terhadap para pemberontak tersebut dilakukan engat ke Haramain.
Perlawanan terhadap imperialis terus-menerus dilakukan bagi ulama-ulama selanjutnya. Seperti KH Hasyim Asy’ari, pendiri organisasi Nahdhatul Ulama (NU), engat belakang hayat beliau tetap mengumandangkan jihad melawan imperialisme dan imperialisme.
Niat dan usaha para ulama buat mengusir imperialis tidak sekadar dikonsolidasikan di Tanah Air, ulama-ulama akar Nusantara yang menetap di Tanah Suci jua ikut terlibat dalam mewujudkan benua yang merdeka, bebas dari kolonialisme, dan berdaulat. Oleh karena itu, dalam sejarah bangsa Indonesia, sembahyang haji bukan sekadar sembahyang teologis, ia becus membentuk solidaritas sosial masyarakat Nusantara.
Wallahu a’lam.
Begitulah pembahasan tentang Ketika Ibadah Haji Sebagai Ajang Konsolidasi Ulama Atas Penjajahan Belanda - Islami[dot]co semoga artikel ini bermanfaat untuk kita semua. Bila ada kata yang salah, mohon di koreksi lewat komentar dibawah ini. salam
Sumber Artikel ini : https://islami.co/ibadah-haji-sebagai-ajang-konsolidasi-ulama-atas-penjajahan-belanda/
Posting Komentar untuk "Ketika Ibadah Haji Sebagai Ajang Konsolidasi Ulama Atas Penjajahan Belanda - Islami[dot]co"
Posting Komentar